Kecenderungan yang semakin marak untuk menggunakan bahasa gaul, yang notabene tidak memiliki aturan ketat, berdampak pada menurunnya kedisiplinan berbahasa secara umum. Pengguna bahasa menjadi kurang peduli terhadap ejaan yang benar, penggunaan tanda baca, dan struktur kalimat yang tepat. Hal ini mengikis fondasi Bahasa Indonesia baku yang telah dibakukan.
Fenomena ini seringkali terlihat pada generasi muda. Mereka yang terpapar bahasa gaul secara intens di media sosial dan percakapan sehari-hari, cenderung membawa kebiasaan ini ke ranah yang lebih formal. Akibatnya, berbahasa yang seharusnya diterapkan dalam tulisan atau komunikasi resmi menjadi longgar dan tidak standar.
Ejaan yang benar sering diabaikan demi kecepatan atau “gaya” bahasa gaul. Kata-kata sering disingkat, digabungkan, atau diubah ejaannya tanpa mengikuti kaidah EYD. dalam ejaan ini penting untuk memastikan pesan tersampaikan dengan jelas dan menghindari salah tafsir dalam komunikasi tertulis.
Penggunaan tanda baca yang salah atau bahkan dihilangkan juga menjadi masalah. Koma, titik, dan tanda baca lainnya memiliki peran krusial dalam memberikan jeda dan makna pada kalimat. Kurangnya ini dapat menyebabkan kalimat menjadi ambigu atau sulit dipahami, mengurangi kualitas komunikasi.
Struktur kalimat yang tepat sesuai kaidah Bahasa Indonesia baku juga terabaikan. Bahasa gaul sering menggunakan pola kalimat yang tidak beraturan atau menghilangkan subjek/predikat. Jika ini terbawa ke dalam penulisan formal, akan menghasilkan tulisan yang tidak gramatikal dan tidak profesional.
Penting bagi institusi pendidikan untuk menanamkan kembali berbahasa sejak dini. Kurikulum harus secara aktif mengajarkan kaidah Bahasa Indonesia baku dan menekankan pentingnya penggunaannya dalam konteks yang tepat. Latihan menulis dan berbicara formal harus ditingkatkan.
Orang tua juga memiliki peran vital dalam membentuk berbahasa anak-anak mereka. Biasakan menggunakan Bahasa Indonesia baku di rumah, dorong membaca buku, dan koreksi kesalahan berbahasa dengan cara yang konstruktif. Lingkungan rumah sangat memengaruhi kebiasaan berbahasa.
Masyarakat secara umum harus lebih sadar akan pentingnya menjaga berbahasa. Bahasa adalah cermin intelektualitas dan identitas bangsa. Menjaga kualitas bahasa berarti menjaga kualitas komunikasi dan pemikiran kolektif kita.
Mari bersama-sama mengembalikan kedisiplinan berbahasa yang luntur. Dengan kesadaran dan praktik yang konsisten, kita dapat memastikan bahwa Bahasa Indonesia baku tetap lestari dan digunakan dengan baik di segala aspek kehidupan.
