Aksi massa yang berujung pada vandalisme dan perusakan seringkali meninggalkan jejak pilu. Gedung-gedung terbakar dan mobil hangus menjadi saksi bisu betapa marahnya kerumunan bisa berubah menjadi kekuatan destruktif. Peristiwa ini bukan hanya merugikan materi, tetapi juga mencoreng citra demokrasi. Vandalisme ini menunjukkan bagaimana emosi yang tak terkendali bisa berujung pada kerusakan fatal, dengan berbagai fasilitas publik menjadi korban amuk massa.
Salah satu contoh paling nyata adalah kerusuhan Mei 1998. Di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, gedung-gedung dan pusat perbelanjaan dibakar. Ratusan mobil hangus di pinggir jalan, menjadi lambang kehancuran. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana ketidakpuasan politik dan ekonomi bisa meledak menjadi kekerasan fisik. Gedung-gedung dan mobil-mobil ini adalah korban amuk dari kekecewaan masyarakat yang memuncak, merusak tatanan sosial yang ada.
Perusakan juga terjadi dalam konteks protes yang lebih spesifik. Misalnya, dalam beberapa demonstrasi menolak kebijakan tertentu, fasilitas umum seperti halte bus atau pos polisi sering kali menjadi sasaran. Perilaku ini, selain merugikan, juga mengalihkan fokus dari tuntutan utama. Hal ini merusak pesan yang ingin disampaikan dan menjadikan publik sebagai korban amuk yang tidak bersalah. Tindakan anarkis ini melemahkan legitimasi gerakan.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang mengapa massa bisa begitu mudah terprovokasi hingga merusak. Beberapa faktor yang sering disebut adalah kurangnya penegakan hukum, rasa ketidakadilan yang mendalam, dan provokasi dari pihak-pihak tertentu. Akibatnya, alih-alih berdialog, massa justru melampiaskan kemarahan pada benda mati. Gedung dan mobil pun menjadi korban amuk dari frustrasi yang terpendam, mencerminkan kegagalan komunikasi sosial dan politik.
Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, penting untuk memahami akar masalahnya. Pemerintah perlu lebih peka terhadap aspirasi rakyat dan menyelesaikan masalah secara transparan dan adil. Di sisi lain, masyarakat juga harus menyadari bahwa perusakan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Dengan dialog yang konstruktif dan kesadaran kolektif, kita bisa memastikan bahwa aspirasi disampaikan tanpa harus ada gedung atau mobil yang menjadi korban amuk lagi.
