Praktik pesugihan, yang menawarkan kekayaan instan dengan tumbal, selalu dibarengi dengan kisah-kisah seram tentang balasan karmik yang turun-temurun. Salah satu ketakutan terbesar adalah Mitos Rezeki seret yang diyakini akan menimpa anak cucu pelaku. Kepercayaan ini menjadi bentuk peringatan sosial bahwa kekayaan yang diperoleh secara haram tidak akan membawa berkah, melainkan membawa kutukan dan penderitaan bagi generasi berikutnya.
Menurut keyakinan yang beredar, kekayaan yang didapat dari pesugihan bersifat pinjaman dari makhluk gaib dan tidak bersifat abadi. Ketika perjanjian dengan entitas tersebut terputus, atau pelaku meninggal dunia, balasan karmik akan ditransfer ke keturunannya. Mitos Rezeki seret ini termanifestasi dalam kesulitan ekonomi yang tak berkesudahan, kegagalan dalam usaha, dan kesulitan dalam menemukan pekerjaan yang layak.
Kisah-kisah ini seringkali berfungsi sebagai alat kontrol sosial. Mereka menanamkan nilai-nilai moral tentang pentingnya kerja keras dan kejujuran. Masyarakat ingin menekankan bahwa kemakmuran harus dicapai melalui jalan yang lurus (halal), bukan melalui jalan pintas yang merugikan orang lain. Mitos Rezeki yang penuh malapetaka ini menjadi penangkal kuat terhadap godaan kekayaan instan.
Secara psikologis, keyakinan ini dapat menciptakan kecemasan mendalam di kalangan keluarga yang pernah terkait dengan praktik pesugihan. Setiap kegagalan finansial yang dialami keturunan akan langsung dihubungkan dengan dosa leluhur. Beban psikologis ini dapat menghambat potensi mereka untuk bangkit, karena mereka sudah merasa ditakdirkan untuk memiliki nasib buruk.
Di sisi lain, Mitos Rezeki ini memberikan penjelasan yang mudah dipahami oleh masyarakat tentang ketidakberuntungan. Daripada mengkaji faktor-faktor ekonomi atau kegagalan manajemen, lebih mudah menyalahkan kutukan leluhur. Hal ini menunjukkan bagaimana mitologi digunakan untuk menafsirkan peristiwa-peristiwa kehidupan yang sulit dan tak terduga.
Penting bagi tokoh agama dan edukator untuk memberikan perspektif yang rasional dan spiritual yang benar. Mereka harus menekankan bahwa nasib setiap individu ada di tangan sendiri dan Tuhan, bukan di tangan perjanjian gaib masa lalu. Pencerahan ini dapat membebaskan keturunan dari beban rasa bersalah dan kutukan yang tidak nyata.
Untuk memutus rantai Mitos Rezeki ini, yang dibutuhkan adalah penguatan etos kerja, pendidikan keuangan, dan pembangunan mental yang kuat. Keluarga harus diajarkan bahwa fokus pada skill dan integritas adalah kunci kemakmuran yang sejati, bukan takut pada bayang-bayang kesalahan leluhur.
Pada akhirnya, Mitos Rezeki seret adalah pelajaran tentang konsekuensi jangka panjang dari ketamakan. Ia mengingatkan kita bahwa kebahagiaan dan keberkahan sejati tidak diukur dari jumlah kekayaan, melainkan dari kedamaian hati dan kemuliaan cara kita memperolehnya.
